Omed-omedan
atau juga disebut Med-medan adalah acara ciuman massal yang rutin digelar oleh
warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan, pada setiap setiap tanggal 1
tahun Caka, atau sehari setelah Hari Nyepi. Menurut cerita masyarakat setempat,
acara ini sudah diwariskan sejak dulu dan menjadi tradisi unik
yang hanya satu-satunya di Pulau Dewata. Banjar Kaja yang terletak di sebelah
selatan Kota Denpasar ini memiliki tradisi omed-omedan atau festival ciuman antar pemuda dan pemudi banjar setempat. Omed-Omedan atau bahasa Indonesianya adalah
cium-ciuman(tarik-menarik). Tentang omed-omedan, dari arti bahasa Indonesianya
memang banyak yang penasaran sekaligus membayangkannya. Omed-omedan melibatkan sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi umur
17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah.
Dalam bahasa Bali, Med-medan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik
menarik. Jadi med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok
pemuda dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa.
Prosesi med-medan dimulai dengan
persembahyangan bersama untuk mohon keselamatan. Usai bersembahyang, peserta
dibagi menjadi dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok
tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah
seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat.
Para "tetua" atau orang yang dituakan di desa
tersebut menjadi "wasit" dalam acara ini ini. Jika para "tetua" memberi
aba-aba mulai, kedua kelompok yang saling berhadap-hadapan ini menunjuk salah
satu wakilnya untuk diarak ke depan dan beradu ciuman dengan wakil dari
kelompok lain. Biasanya jika sudah terjadi adu mulut, peserta pria lebih
bernafsu melumat bibir "lawan"-nya yang tampak malu-malu tapimau. Untuk
menghindari ciuman semakin panas, para tetua dibantu panitia mengguyurkan air
kepada seluruh peserta omed-omedan.
Namun, tak hanya peserta, para penonton, fotografer dan kamerawan yang
mengambil gambar terlalu dekat juga harus rela diguyur dengan air satu ember.
Baku cium antar muda-mudi ini dilakukan berulang-ulang hingga "wasit"
menghentikannya. Festival omed-omedan
yang ditonton ribuan wisatawan dan warga ini akhirnya usai setelah berlangsung
sekitar satu jam. Seluruh peserta kembali ke pura banjar untuk diperciki air
tirta
Tidak semua masyarakat Bali, bahkan
masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Menurut penuturan salah
satu warga yang sempat saya tanyakan, pernah pada 1970-an para sesepuh banjar
memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran
Pura terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, dan keduanya menghilang
begitu saja di tengah perkelahian. Oleh warga, peristiwa itu dianggap sebagai
pertanda buruk. Maka, med-medan pun kembali dilangsungkan. Jauh sebelum itu,
ada kisah menarik mengenai med-medan. Saat itu, begitu Hari Nyepi usai,
masyarakat Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar
permainan med-medan alias saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dan
pemudi. Saking serunya, acara tarik-menarik itu berubah menjadi acara saling
merangkul dan situasi berubah gaduh karenanya. Raja yang saat itu sedang sakit
pun marah besar.Dengan terhuyung-huyung beliau keluar hendak menghardik
warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak
sirna dan ia pun sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar
med-medan dilaksanakan tiap tahun saat ngembak geni (menyalakan api pertama)
setelah Hari Nyepi.
Begitu diselenggarakan lagi, giliran
Pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang
ritual itu, namun warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara ciuman
massal itu pun berlangsung hingga sekarang. Tapi jangan berfikir semudah itu
untuk bisa mendaratkan ciuman kamu pada sang gadis, karena dalam acara itu
selain tarik menarik juga ada acara siram-siraman, sekali kesempatan dan gagal,
maka kamu akan di siram beramai-ramai. Saya sempat
mewawancarai salah seorang gadis yang sudah lama mengikuti tradisi ini, Putu Suciari, salah seorang peserta
omed-omedan, sempat merasa canggung saat berciuman dengan peserta pria karena tidak saling
kenal. ”Deg-degan sih, kan kaget dapetnya sama siapa. Kalau di sini kami
tidak tahu ciuman sama siapa jadi agak canggung, kalau sama pacar kan
beda," kata gadis berusia 20 tahun ini. Ayu yang sudah 3 kali
mengikuti omed-omedan ini mengaku antusias menjadi peserta karena ingin
melestarikan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun ini.
"Orangtua kami dulu kan juga ikut, ini sudah adat takutnya entar kalau
enggak ikut ada apa-apa," ujarnya.
Tradisi omed-omedan ini dimulai pada abad ke-17.
Sebelumnya tradisi ini dilakukan saat hari raya Nyepi. Namun, pada tahun 1978
diputuskan untuk menggantinya pada saat Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi.
"Tradisi ini hanya luapan kegembiraan teruna teruni pada saat melakukan
omed-omedan di hari Ngembak Geni," kata I Gusti Ngurah Oka Putra,
tokoh masyarakat Banjar Kaja. Selain bentuk penghormatan terhadap leluhur, omed-omedan
digelar untuk semakin meningkatkan rasa kesetiakawanan dan solidaritas
antarwarga khususnya para pemuda dan pemudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar